MBAH-mbah Joko Triyono bukanlah penduduk asli Desa Tempuran, bahkan bukan orang Blora melainkan orang Grobogan. Tapi orang tuanya telah lama jadi penduduk desa setempat. Ibunya bahkan memiliki pengabdian yang panjang di sekolah dasar yang ada di desa tersebut. Meski tidak memiliki garis keturunan para pendahulu desa, tapi Joko Triyono cukup fasih mengisahkan asal-usul desa yang menjadi tempat tinggalnya.
"Karena saya ibaratnya dipasrahi tongkat estafet perangkat desa untuk nguri-uri atau melestarikan kearifan lokal tentang sejarah desa atau asal-muasalnya," katanya saat dijumpai di desanya pada Sabtu, 19 Oktober 2024.
Joko Triyono pernah menjabat sekretaris desa. Pensiunan pegawai negeri ini dapat piweling atau pesan dari perangkat desa sebelumnya untuk mengisahkan sejarah desa ke perangkat desa generasi berikutnya. Kebetulan ia punya minat yang tinggi terhadap kisah-kisah sejarah. Ia pun mendapat kisah asal-muasal desa dari perangkat sebelumnya.
"Jadi cerita saya kumpulkan dari 3 orang, terdiri dua orang perangkat desa dan satu orang dari penduduk tertua. Mereka Joyo Yamin, Kamituwo Ngrojo dan Sarto, Kamituwo Kepuh. Sementara satu orang yang berusia sepuh adalah Mbah Jan Garot," sebutnya.
Tiga orang ini mendapatkan cerita dari orang-orang generasi sebelumnya, baik dari perangkat desa maupun dari mbah-mbah generasi terdahulu.
"Jadi ingatan tentang asal muasal desa itu tidak hilang sejak didirikannya desa ini pada tahun 1747 masehi. Karena dikisahkan secara turun-temurun. Tak heran jika sejak desa ini didirikan kami memiliki ingatan yang kuat tentang siapa saja kepala desa yang ada di desa ini. Sudah 12 orang, termasuk kepala desa yang sekarang yang tercatat dalam ingatan kami," jelasnya.
Desa ini didirikan 2 tahun sebelum berdirinya Kabupaten Blora pada tanggal 11 Desember 1749 masehi. Tepatnya pada hari Rabu Pon bulan Selo (Dzulqa'dah dalam bulan Islam) tahun 1747, oleh Tunggul Yudo, seorang kerabat dari (Kadipaten) Tuban. Dikisahkan lantaran perbedaan pendapat dengan kerabatnya, Tunggul Yudo memilih minggat dari Tuban melakukan perjalanan ke barat hingga tiba di sebuah tempat di Blora utara. Membawa 2 cantrik atau pengikut, Tunggul Yudo mendirikan padepokan di tempat tersebut. Dua cantrik yang dibawa bernama Jaelani dari Lasem dan Dipo Proyo dari Tuban.
"Padepokan itu tempatnya ada di timur laut desa, berbatasan dengan Desa Soko dan Desa Plantungan. Tak jauh dari padepokan ada sumber (mata air) yang namanya Sumber Manggok. Tempatnya sekarang kami kenal dengan wilayah Tapakan, dari kata pertapaan," sebutnya.
Kala itu nyaris tak ada yang kenal nama Tunggul Yudo sebagai guru padepokan. Pasalnya, ia yang tak ingin diketemukan jejaknya, tak pernah mengenalkan diri sebagai Tunggul Yudo dari Tuban. Dikenal dengan ilmu panglimunannya, Tunggul Yudo cukup dikenal dengan nama Lebu Peteng yang ejaannya sekarang di masyarakat setempat menjadi Lembu Peteng.
"Karena Tunggul Yudo tidak mau diketahui tempatnya (pelarian) sehingga tidak dapat dilacak oleh kerabatnya dari Tuban, ia merahasiakan namanya. Ia hanya dikenal dengan ilmu panglimunannya. Ketika ada musuh yang masuk desa, yang terlihat hanya hutan belantara tidak ada penduduknya," tuturnya.
Padepokan yang didirikan Mbah Lebu Peteng semakin lama semakin bertambah muridnya. Mereka diajari bercocok tanam, lalu mencari tanah-tanah subur ke hilir untuk ditanami sayur-sayuran, palawija, dan lain sebagainya. Hasil bumi yang berlimpah membuat kawasan tersebut sering didatangi penduduk dari desa lain untuk sekedar belanja atau kulakan hasil bumi.
"Ditunjang dengan ilmu Mbah Lebu Peteng, kawasan yang subur tersebut aman tenteram tanpa gangguan dari desa kawasan lain. Hasil buminya melimpah. Banyak orang dari luar desa, yang kami menyebutnya orang Ketawang, berdatangan untuk kulakan. Membeli atau kulakan ini, bahasa orang jaman dulu disebut nempur. Ini asal-usul nama Desa Tempuran yang didirikan Mbah Lebu Peteng," terangnya.
Versi yang lain dari asal-usul nama desa adalah pertemuan aliran-aliran sungai yang diistilahkan dengan pertempuran.
"Jadi di Waduk Tempuran itu ada dua aliran sungai, yakni sungai Tedun dan Sungai Jomblang. Bertemu atau tempur 2 aliran sungai tersebut, mengalir turun menjadi sungai Tempur. Lalu bertemu lagi atau tempur dengan sungai lain, yakni sungai Manggok yang ada di utaranya makam Mbah Lebu Peteng," terangnya lagi.
Dari sinilah kemudian Mbah Lebu Peteng menamakan desa yang didirikannya tersebut bernama Desa Tempuran. Kepala desanya ia pilih dari 2 pengikutnya atau muridnya yang lebih bijak pemikiran-pemikirannya, antara Dipo Proyo dan Jaelani.
"Dari 2 saudara seperguruan ini, murid pertama Jaelani. Tapi secara pemikiran, murid kedua yakni Dipo Proyo lebih bijak," sebutnya.
Oleh Mbah Lebu Peteng, Dipo Proyo dipilih untuk jadi kepala desa dan dinikahkan dengan perawan dari Desa Klopoduwur yang konon cantik jelita membuat iri kakak seperguruannya, Jaelani. Namun Jaelani hanya memendam lantaran Mbah Lebu Peteng masih hidup. Sepeninggal Mbah Lebu Peteng, terjadilah geger antara keduanya. Jaelani memenangkan gegeran tersebut dengan membunuh Dipo Proyo. Pusat pemerintahan pun ia pindah dari Dukuh Juwet ke Dukuh Kepuh, sekalian memboyong istri Dipo Proyo.
"Dari istrinya, Dipo Proyo memiliki anak bernama Janut. Lalu Janut membalaskan dendam ayahnya, dan memindahkan pusat pemerintahan desa ke Dukuh Ngrojo. Sejak itu dendam diakhiri, dan damai hingga sekarang," pungkasnya.
Kelak Rabu Pon bulan Selo menjadi hari sedekah bumi desa.