Pelayanan informasi publik desa

PPID Desa perlu dibentuk, namun bersifat kekhususan

Foto: Lakpesdam PCNU Blora

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Cabang (PC) NU Kabupaten Blora menggelar diskusi daring menghadirkan Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Jawa Tengah. Diskusi dimaksudkan untuk melahirkan satu persepsi dan pemahaman tentang keterbukaan informasi publik.

Kamis, 23 Juni 2022 19:52 WIB

BLORA (wartaDESA)—Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Cabang (PC) NU Kabupaten Blora menggelar diskusi jarak jauh melalui aplikasi zoom meeting dengan menghadirkan pembicara anggota Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Jawa Tengah Widi Heriyanto, Kamis, 23 Juni 2022. Dalam konferensi yang juga diikuti kepala-kepala desa di Kabupaten Blora ini, Widi mendorong dibentuknya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di desa yang melayani kebutuhan informasi untuk masyarakat. Meski demikian, Agung Heri Susanto, Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Blora yang ikut dalam konferensi ini menyatakan, pelayanan kebutuhan informasi publik desa yang ditangani PPID Desa nantinya lebih bersifat kekhususan, yakni untuk melayani warga dan masyarakat yang ada di desa masing-masing.

Dalam halaman presentasinya, Widi mendorong agar desa tidak perlu diliputi perasaan takut untuk membuka informasi kepada publik.

"Jangan takut dengan keterbukaan informasi," tulisnya di salah satu halaman slide paparannya.

Dijelaskannya dalam slide, keterbukaan informasi desa dapat dibangun dengan memenuhi minimal 3 kelengkapan.

"Pertama, ada peraturan desa atau SK desa tentang standar layanan informasi desa. Kedua, perlu ada kelembagaan PPID, dan ketiga, juga ada sarana prasarana penunjang layanan Informasi desa," jelasnya.

Hingga saat ini di Kabupaten Blora hampir belum ada desa yang memiliki kelembagaan PPID. Agung Heri Susanto mengatakan, pelayanan informasi publik desa selama ini masih menggunakan kerangka musyawarah desa. Kalau pun dipandang perlu dibentuk PPID Desa, Agung menegaskan perlu ada kearifan lokal yang membedakan antara PPID Desa dan PPID kabupaten maupun provinsi. Jadi tidak serta merta keterbukaan informasi publik desa disamakan dengan keterbukaan informasi untuk publik kabupaten.

"Kami mengacu pada undang-undang desa, karena yang bisa membatalkan undang-undang (keterbukaan informasi publik) ya dengan undang-undang (desa). Setidaknya kita sandingkan dua undang-undang ini. Dalam undang-undang desa, keterbukaan informasi publik untuk masyarakat desa (yang bersangkutan). Jadi bersifat kekhususan, lex specialis," tandasnya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon.

Dengan sifat yang kekhususan ini, lantas tidak serta merta masyarakat umum di luar desa tersebut bisa secara langsung meminta informasi kepada pemerintahan desa.

"Kecuali mendapat kuasa dari warga atau masyarakat di desa tersebut," imbuhnya.

Masyarakat dari luar, baik itu LSM maupun kelompok advokasi kalau pun terlibat dalam urusan permintaan informasi, Agung menyarankan untuk lebih bersifat pendampingan.

"Misalkan ada pemerintah desa yang tertutup. Warganya bisa didampingi LSM atau masyarakat luar desa tersebut untuk meminta layanan keterbukaan informasi. Karena secara aset sumber daya manusia di desa itu terbatas. Sehingga memang perlu pendampingan. Beda dengan aset sumber daya kabupaten yang luas, yang berlimpah," katanya.

Keterbukaan informasi publik desa banyak dipersoalkan

Dalam catatan KIP Provinsi Jawa Tengah, keterbukaan informasi publik di desa di Provinsi Jawa Tengah banyak dipersoalkan oleh perorangan. Tercatat ada 135 termohon untuk PPID desa pada tahun 2021, sementara PPID kabupaten dan kota hanya 9 termohon. Sementara pihak-pihak pemohon, paling banyak berasal dari perorangan. Ada 105 orang sebagai pemohon, sedangkan badan hukum ada 32 pemohon.

"Tren kasus sengketa informasi desa tahun 2021, kerap diajukan oleh orang atau kelompok orang—termasuk LSM, untuk tujuan pengamatan publik. Ada temuan hal-hal yang tidak baik yang menyertai permintaan informasi, semacam pungli dan tujuan yang tidak jelas," terang Widi Heriyanto, anggota Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Jawa Tengah.

Dalam hal muatan informasi yang diminta, KIP Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2021 mencatat permintaan informasi tentang laporan keuangan desa yang banyak disengketakan.

"Dari informasi yang disengketakan, 61 persen perihal permintaan informasi terkait laporan keuangan. Sementara program dan kegiatan, hanya 5 persen. Sedangkan 19 persen informasi terkait peraturan, putusan, dan kebijakan. Ada pula informasi terkait barang dan jasa yang tercatat 12 persen dari yang disengketakan," paparnya.