Serius garap pertanian, Desa Bejirejo melarang warganya merantau

Foto: Gatot Aribowo

Sri Suprihatin, akrab disapa Mbah Beji, Kepala Desa Bejirejo, Kecamatan Kunduran saat menunjukan lahan tembakau di desanya.

Kamis, 24 Oktober 2024 19:15 WIB

BLORA (wartablora.com)—Pernah belajar 16 hari di mancanegara tentang tata kelola dan produksi pertanian, Sri Suprihatin, Kepala Desa Bejirejo, Kecamatan Kunduran berhasil mengajak warganya untuk serius menggarap lahan-lahan pertanian di desanya. Nyaris tak ada lahan menganggur kendati musim kemarau tiba. Pemuda desa ia arahkan untuk menanam hasil bumi yang cocok ditanam di musim kemarau. Dengan lahan minim untuk ukuran petani gurem, yakni seperempat hektar, omset hasil produksi pertanian bisa mencapai sedikitnya Rp38 juta setiap tahunnya.

"Ini lagi musim tanam tembakau," kata Mbah Beji, sapaan akrab Sri Suprihatin saat ditemui di desanya pada Kamis, 24 Oktober 2024.

Dari hitungannya, dengan lahan seperempat hektar dengan masa tanam tembakau 4 bulan, hasil jual produksi bisa menyentuh angka Rp20 juta. Dipotong dengan biaya produksi tak lebih dari Rp3 juta, keuntungan yang didapat petani penggarap bisa menyentuh angka Rp17 juta.

"Dengan rincian Rp1,25 juta untuk biaya bibit, pupuk awal, dan obat. Lalu biaya pupuk lanjutan sekitar Rp800 ribu, ditambah biaya pengairan Rp750 ribu, total ongkos produksi sekitar Rp2,8 juta," jelasnya merinci pengeluaran untuk biaya produksi tanam tembakau.

Memiliki pengalaman panjang bisnis di sektor pertanian dan peternakan, Mbah Beji telah mempunyai jaringan penjualan hasil-hasil bumi ke pabrik-pabrik. Sehingga dengan mudah ia bisa mengarahkan warganya untuk berkecimpung di dunia pertanian.

"Saya tidak mengijinkan pemuda-pemuda desa pergi merantau untuk sekedar mencari pekerjaan. Sebisa mungkin saya arahkan dan ajarkan untuk bekerja di desa sendiri dengan berproduksi di sektor pertanian dan peternakan. Banyak lahan yang menganggur saat musim kemarau untuk digarap. Saya arahkan untuk tanam tembakau atau tebu. Kebanyakan tembakau, hasilnya lebih banyak ketimbang tebu. Kalau tebu perlu lahan yang lebih luas untuk bisa menikmati hasilnya," terangnya.

Waktu untuk menanam tembakau di desanya antara bulan Maret sampai Mei. Dengan masa tanam 4 bulan, September hingga November masanya panen. Setelah itu lahan diistirahatkan sementara waktu, baru kemudian diarahkan menanam telo, tomat, atau terong dengan masa tanam sekitar 2 bulan.

"Kebetulan mata pencaharian penduduk desa kami banyak yang pedagang di pasar. Sehingga hasil buminya bisa diambil tetangga sendiri yang berjualan di pasar," katanya.

Dari masa tanam 2 bulan untuk telo, tomat, atau terong, omset hasil produksi pertanian bisa menyentuh angka Rp10 juta dengan luas lahan seperempat hektar.

"Luas lahan seperempat hektar ini asumsi untuk petani gurem. Artinya sekalipun petani gurem, lahan terus berproduksi tanpa henti," tandasnya.

Setelah telo, ia mengarahkan untuk ditanami hasil bumi yang laku keras di bulan-bulan puasa.

"Ada timun, krai, atau blewah yang harga jualnya bisa tinggi saat bulan puasa," katanya.

Dengan serius mengarahkan warganya untuk berproduksi di sektor pertanian, tingkat pengangguran dan kemiskinan di desanya lebih dapat ditekan.