SRI SUBIYATI dengan sabarnya mengajari Darwati yang pagi itu untuk ketiga kalinya belajar mengaitkan benang-benang menjadi bahan rajutan. Jumat, hari baru pada bulan Oktober 2021 itu, 8 ibu-ibu warga Desa Balong sedang berkumpul di balai desa di depan gedung mini Perpustakaan Lentera. Tujuh dari mereka sedang berlatih merajut, dua diantaranya masih anyaran. Darwati, salah satunya, dan lainnya, Sindi yang dilatih Lestari. Mereka berdua dilatih membuat rantai dengan teknik tusukan tunggal dan teknik tusukan ganda. Ini adalah teknik-teknik dasar membuat rajutan.
"Lho, lumayan. Lho, Sin, iki ae langsung tak warahi langsung isa kok, Sin," kata Bu Sri pada Sindi yang dilatih Lestari, menggunakan bahasa Jawa yang membanggakan Darwati langsung bisa membuat rantai dengan teknik-teknik yang diajarkannya.
"Iki elah yo isa kok e," timpal Lestari berbahasa Jawa, yang tak mau kalah membanggakan Sindi yang dilatihnya.
Teknik-teknik dasar merajut, dikatakan Lestari tak terlalu sulit untuk dikuasai. Anaknya yang SMA bahkan bisa menguasainya dengan singkat saat ia ajari.
"Yang sulit," kata Lestari saat berbincang dengan saya, "adalah pengembangan modenya. Butuh kreativitas dari kita."
Keterampilan merajut ini telah ibu-ibu warga Desa Balong dapatkan sejak beberapa tahun lalu. Awalnya ada pelatihan dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Blora. Namun belum membangkitkan gereget dari mereka untuk dikembangkan menjadi potensi penghasilan. Bahkan untuk menciptakan barang seperti tas saja belum terpikirkan. Apalagi untuk menjadikannya sebagai sumber memberdayakan kesejateraan keluarga, seperti misi dari PKK Desa Balong. PKK adalah akronim dari pemberdayaan kesejahteraan keluarga.
"Ya karena bahan-bahannya tak mudah kita dapatkan," kata Lestari yang merupakan Kepala Perpustakaan Lentera Desa Balong.
Tibalah masa pandemi. Gedung mungil perpustakaan telah berdiri. Buku-buku yang menyajikan model-model rajutan telah mereka miliki. Sementara pembatasan sosial membuat mereka tak bisa kemana-mana. Di sisi lain, Lestari yang kerap mendapat bimbingan teknis dari Perpusnas RI (Perpustakaan Nasional) dicekoki untuk tercipta iklim inklusi sosial dari adanya perpustakaan desa.
"Jadi kayak ada tuntutan (inklusi sosial)," ujarnya.
Mengacu pada definisi dari Perpusnas, perpustakaan berbasis inklusi sosial merupakan perpustakaan yang memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan potensinya dengan melihat keragaman budaya, kemauan untuk menerima perubahan, serta menawarkan kesempatan berusaha, melindungi dan memperjuangkan budaya dan Hak Azasi Manusia (HAM).
Tuntutan inklusi sosial tersebut menjadikan Lestari mendorong kembali ibu-ibu yang telah mendapat pelatihan keterampilan merajut untuk kembali berlatih. Mereka menggunakan gedung perpustakaan sebagai tempat berlatih. Sambil melihat-lihat buku, mereka mempraktikannya dengan latihan. Masa pandemi justru membuat mereka tekun berlatih hingga satu persatu berhasil menciptakan barang-barang hasil produksi rajutan. Mereka hanya ada 5 orang yang tersisa, termasuk dirinya dan Sri Subiyati. Lainnya: Sujiati, Sutarmi, dan Puji Susanti. Nama yang terakhir termasuk pengelola perpustakaan desa. Puji juga aktif memasarkan produk-produk mereka dengan memanfaatkan media sosial.
"Mbak Puji itu spesialis menyulam," sebut Lestari.
"Sementara saya, (selain merajut) juga bisa membuat sandal dan sepatu," sambungnya.

Hasil-hasil produk mereka bermacam-macam. Mulai dari tas, dompet, tempat handphone, juga gantungan kunci, dan wadah tisu. Tasnya sendiri juga bermaca-macam modelnya. Ada yang model untuk tas jinjing, ada juga tas punggung. Ada pula tas pesta. Harganya bisa mencapai Rp200 ribu hingga Rp300 ribu, tergantung aksesoris bahannya.
"Sistem penjualannya belum melibatkan BUMDes," katanya.
Sistem penjualan masih diterima masing-masing pembuatnya. Barang-barangnya dikumpulkan jadi satu, ditandai siapa pembuatnya, dan dijual sama-sama. Penjualan masih melalui jaringan sebatas di media-media sosial, belum melebar masuk ke lokapasar (marketplace). Meski demikian, jaringan yang sudah ada cukup membuat penjualan produk-produk mereka lancar. Saat mendapat kesempatan mengikuti bimbingan teknis instansi atau acara lainnya, mereka melakukan promosi penjualan.
"Mbak Puji yang mempromosikannya di media-media sosial, seperti di Instagram dan Whatsapp," kata Lestari.
Selain memajang barang dengan foto-foto di media sosial, mereka juga memajangnya di ruangan yang bersebelahan dengan gedung perpustakaan desa. Ruangan ini semacam toko, dan memang mirip toko berpintu besi. Ada dua ruangan, satunya untuk kesenian, dan satunya untuk hasil inklusi sosial. Bangunan ini didapat dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk pengembangan infrastruktur desa wisata.
"Hasil dari penjualan kita gunakan lagi untuk membeli bahan," terang Lestari.
Tercatat ada 50 item barang yang siap dijual saat tulisan ini dibuat. Item barang tersebut bisa bertambah bila pelatihan-pelatihan yang rutin dilakukan bisa menciptakan pengrajin baru. Tergantung Darwati dan Sindi, apakah akan tekun berlatih model kerajinan dari rajutan benang untuk bisa menjadi pengrajin baru, ataukah tidak. Namun setidaknya ada asa yang tumbuh di Desa Balong dari rajutan benang yang menciptakan produk-produk kerajinan.
"Mungkin nantinya akan kita berikan kontribusi ke BUMDes (untuk desa), dengan keuntungan yang tidak mengurangi pengrajinnya," tutup Lestari mengakhiri perbincangan kami. ***